LKPD yang Konstruktivis Bernuansa Kearifan Lokal



www.pendidikanmahir.com

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi peserta didik, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapakan suatu ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan sejumlah informasi ke dalam benak peserta didik, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak peserta didik. Konstruktivis menjadi teori belajar yang pengertiannya menitiberatkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sejalan dengan itu, Bukova (2007) juga mengungkapkan bahwa pembelajaran konstruktivis memberikan kontribusi positif pemahaman suatu konsep dalam proses pembelajaran.
Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri (Brooks, 1993; Leinhardt, 1988). Esensi teori ini peneliti maknai bahwa peserta didik seharusnya menerima informasi baru melalui pengalamannya sendiri agar informasi yang diterimanya berlangsung lama dan menjadi miliknya sendiri. Menurut Martawijaya (2014), konstruktivis adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia tak mengenal objektif, kenyataan yang benar merupakan bagian dari interpretasi mereka sendiri tentang hal tersebut, karena semua pengetahuan disaring dan diinterpretasi berdasarkan pengalaman yang telah lampau dan apa yang telah diketahui. Konstruktivis menekankan bahwa belajar adalah proses aktif peserta didik dalam mengkonstruksi makna dari stimulus, apakah berupa teks, dialog, pengalaman fisik, pengalaman sosial, dan lain-lain.
Teori belajar konstruktivis terdiri atas konstruktivis kognitif dan konstruktivis sosial, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam proses pembelajaran karena konstruktivis kognitif menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik, sedangkan konstruktivis sosial menekankan pada interaksi antara peserta didik. Pandangan diatas dimaknai bahwa selain peserta didik membangun pengetahuannya sendiri melalui proses pembelajaran, juga membangun interaksi sosialnya melalui teman sebaya atau teman kelompok dalam pembelajaran.
Selain itu, Piaget (Dahar, 1989) berpendapat bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran pendidik harus memperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh peserta didik.Artinya peserta didik seharusnya yang terlibat aktif dalam pembelajaran dengan asumsi telah memiliki pengetahuan sebelumnya, sehingga pendidik hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Nur dan Wikandari (1999), bahwa konstruktivis memandang peserta didik secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Pandangan ini memiliki implikasi yang mendalam mengenai pembelajaran, sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa konstruktivis menganjurkan peranan lebih aktif bagi peserta didik, sehingga strategi konstruktivis sering disebut pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Asumsi utama yang melandasi teori konstruktivis adalah bahwa belajar itu ditemukan, meskipun pendidik menyampaikan suatu informasi kepada peserta didik, maka mereka harus melakukan operasi mental terhadap informasi tersebut agar dapat memahaminya. Hasil operasi mental tersebut antara lain peserta didik harus mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya, serta membuat ikhtsar dan analogi mengenai materi yang mereka pelajari.
Teori konstruktivis dalam mendukung penelitian ini digunakan dengan harapan bahwa lembar kerja yang dikembangkan adalah lembar kerja yang mampu menjadikan peserta didik membangun pengetahuannya secara individu atau secara kelompok untuk memahami suatu konsep atau menemukan konsep. Hal tersebut didukung oleh hasil pernyataan Celikler (2010) bahwa penggunaan lembar kerja yang dikembangkan sesuai dengan teori belajar konstruktivis dapat meningkatkan prestasi peserta didik, di mana peserta didik menjadi berperan aktif dan lebih efektif daripada metode pengajaran tradisional lainnya. Rufii (2015) juga menegaskan bahwa strategi pembelajaran konstruktivis dalam modul pembelajaran telah menjadi suatu kebutuhan dalam memajukan prestasi peserta didik. Salah satu produk modul yang dimaksud adalah lembar kerja peserta didik. Artinya, peneliti berpandangan bahwa lembar kerja peserta didik sangat tepat apabila dikemtbangkan dengan didukung oleh teori konstruktivis sehingga dapat meningkatkan prestasi peserta didik. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan pendapat Karaduman & Gultekin (2007) yang menyatakan bahwa bahan ajar yang berbasis prinsip pembelajaran konstruktivis dapat meningkatkan prestasi akademik peserta didik.
Untuk dapat melaksanakannya di dalam kelas atau di luar kelas, terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) memfasilitasi peserta didik dengan benda-benda yang nyata sehingga mereka berbuat terhadap benda-benda tersebut dengan bantuan lembar kerja untuk memperoleh hasil yang diharapkan; (2) memfasilitasi peserta didik untuk dapat saling berinteraksi secara bebas antara satu dengan yang lainnya dalam menjawab pertanyaan atau melaksanakan penyelidikan sesuai petunjuk yang terdapat di lembar kerja; dan (3) memfasilitasi peserta didik untuk berpikir dengan caranya sendiri agar mereka secara bebas mengungkapnya, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan sehubungan dengan materi yang sudah, sementara, dan yang akan dipelajari berupa perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang dirangkum dalam suatu lembar kerja fisika.
Pembelajaran fisika jika dirancang dalam bentuk penyelidikan, maka peserta didik akan terlibat langsung dan aktif dalam pembelajaran. Untuk dapat melaksanakannya, tentu seorang peserta didik harus bekerjasama dalam suatu kelompok kecil, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Menurut beberapa tokoh atau ahli menyatakan bahwa kerjasama merupakan teori kooperatif atau dalam pembelajaran pada umumnya disebut cooperative learning. Cooperative learning atau gotong royong merupakan sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan sesama peserta didik dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih lanjut karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya: (1) peserta didik bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis; (2) anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi; (3) jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin; dan (4) sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Mengkaji pengertian dan karakteristik pembelajaran kooperatif tersebut di atas, menurut peneliti pengertian dan karakteristik tersebut sebenarnya sangat baik dalam pembelajaran, hanya saja khusus untuk pembelajaran di Indonesia terutama di wilayah masyarakat Bugis dipandang sangatlah tidak cocok. Hal ini cukup beralasan karena secara umum masyarakat Bugis terbentuk melalui saling ketergantungan antar sesama, memiliki budaya persatuan yang teguh, dan selalu bersama dalam setiap keadaan, termasuk dalam memecahkan masalah. Alasan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Martawijaya (2014), bahwa peserta didik yang dikelompokkan dengan memilih teman yang dapat diajak bekerjasama sesuai dengan keinginannya mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan memperoleh hasil belajar yang baik pula. Oleh karena itu, jika pendidik hendak menerapkan pembelajaran kooperatif, maka pendidik hendaknya menyesuaikan dengan kondisi dan realitas masyarakat yang ada di sekitar peserta didik. Sehingga dalam penelitian ini peneliti hendak mengembangkan perangkat pembelajaran dengan nuansa kooperatif yang sesuai karakteristik masayarakat dan peserta didik, yakni bernuansa kearifan lokal.
Kearifan lokal menurut arti bahasa adalah kearifan setempat (local wisdom) yaitu gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, memiliki nilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakat setempat. Menurut Sartini (2004) bahwa kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat dalam mengatur kehidupannya dari yang sifatnya sakral sampai sifatnya profan. Sejalan dengan itu, Hamid (2012) mengemukakan bahwa secara konseptual kearifan lokal dapat dirumuskan sebagai pengetahuan, nilai-nilai, pandangan hidup, dan cara-cara masyarakat dan komunitas dalam memenuhi kebutuhannya serta mengatasi masalah yang dihadapi. Khusus masyarakat Bugis Bone Sulawesi Selatan, daerahnya dijuluki sebagai ”Kota Beradat”. Artinya ada banyak kearifan lokal berupa adat istiadat yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis tersebut. Oleh karena model pembelajaran yang diadaptasi dalam penelitian ini adalah model pembelajaran fisika berbasis kearifan lokal, maka nuansa kearifan lokal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah muatan perwajahan dan proses penyelidikan dengan menggunakan lembar kerja yang konstruktivis bernuansa ”mabbulo sipeppa”. Berikut deskripsi nuansa mabbulo sipeppa pada lembar kerja yang dikembangkan.
Mabbulo Sipeppa adalah ungkapan masyarakat Bugis Bone yang sering dinyatakan dalam setiap kegiatan pemerintahan ataupun pesta kerakyatan. Mabbulo Sipeppa dijadikan sebagai semboyang pemersatu anggota masyarakat atau kelompok dengan kekuatan seperti sebatang bambu. Mabbulo Sipeppa dijadikan sebagai nuansa kearifan lokal dalam lembar kerja yang dikembangkan dapat terlihat pada: (1) perwajahan lembar kerja yang berlatarkan bambu sebatang atau serumpun bambu; (2) perwajahan lembar kerja yang secara umum berwarna hijau seperti warna batang dan daun bambu; (3) alat dan bahan penyelidikan yang digunakan terbuat dari bahan bambu; (4) proses penyelidikan yang dilakukan oleh sekelompok peserta didik dengan menerapkan prinsip sebatang bambu, dimana kelompok dibentuk berdasarkan kehendak peserta didik dan setiap anggota kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab dalam kelompoknya; (5) proses pelaksanaan penyelidikan oleh peserta didik secara mandiri dengan sedikit arahan dari pendidik dalam mencapai tujuan layaknya sebatang bambu yang tumbuh tanpa membutuhkan pemeliharaan yang lebih daripada tanaman lainnya; dan (6) penerapan hasil penyelidikan dalam bentuk penyelesaian soal latihan atau penugasan layaknya sebatang bambu yang setiap bagiannya memiliki manfaat bagi kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Pola Perkembangan Pemikiran Manusia di Dunia

Sejarah Berdirinya Kabupaten Bone

Wujud Kearifan Lokal dalam Keterampilan Proses Sains