Sejarah Berdirinya Kabupaten Bone
Bone dahulu disebut TANAH BONE. Berdasarkan LONTARAK bahwa nama asli Bone adalah PASIR, dalam bahasa bugis dinamakan Bone adalah KESSI (pasir). Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan BONE. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone tepatnya di Kelurahan Bukaka.
Kerajaan Bone didirikan oleh To ManurungE ri Matajang (MatasilompoE) pada ± (1330-1362), kemudian digantikan oleh anaknya La Ummasa Petta Panre BessiE (Petta Mulaiye Panreng) (1362-1424) sebagai Raja Bone ke-II. Putra beliau tidak dapat mewarisi pemerintahan ini karena isterinya bukan dari kalangan bangsawan, beliau mempunyai 2 (dua) orang putra bernama To Suwalle (Kajao Ciung) Tomarilaleng Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka (Kajao Araseng) Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, bertindak sebagai juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Raja Bone ke-III ”La Saliyu Kerampeluwa” yang memerintah selama 72 tahun (1424-1496). Baginda di gantikan putrinya sebagai Raja Bone ke-IV ” I Benrigau Makkaleppie Dammarowa MallajangE ri Cina (1496-1516), di saat yang sama lahirlah seorang pemikir ulung, negarawan (Bone sebagai Negara pada waktu itu) dan cerdik pandai bernama Lamellong To Suwalle Kajao Laliddong tau tongennge ri gau’na.
Menurut Kepala Desa Kajaolaliddong Yusuf, bahwa : ”Lamellong pada masa kecil suka menggembala kerbau, rumah Lamellong terletak di desa Kampubbu sekitar 1 (satu) kilometer dari dusun Laliddong, Lamellong setiap harinya berkeliaran (Makkaja) di Laliddong, sebagai tempat menggembala kerbau setiap hari ia membawa nasi dari rumahnya dan siang harinya makan nasi sebagai bekalnya dengan keong (bahasa bugis = bojo), begitulah setiap harinya ia bekerja tanpa terasa lelah dan sangat sabar. Pada suatu hari Lamellong di cari oleh utusan raja (Suro) menanyakan kepada Lamellong apakah anda mengenal nama Lamellong, kemudian Lamellong berkata ” De’ gaga lame ellonna”. Akhirnya Suro (duta) kerajaan Bone itu mengikuti Lamellong ke rumahnya sehigga mereka bercerita panjang lebar dan hari hampir gelap, Suro tersebut minta izin pamit pada Lamellong, akan tetapi jawab Lamellong ”Muni pi manu’ bunge nappa ki lisu”, akhirnya Suro bermalam dan pada tengah malam tiba-tiba ayamnya Lamellong berbunyi ”Kukkuruyuk”, itu pertanda bahwa menurut suro itu adalah waktunya untuk kembali ke kerajaan tiba saatnya, namun Lamellong katakan bahwa sebenarnya bukan itu yang dimaksud dan akhirnya utusan raja tersebut bermalam hingga beberapa hari lamanya, dan pada suatu saat ayam Lamellong yang sementara mengeram telah menetas dan inilah dinamakan ”Muni manu’ bunge”, barulah Suro itu mengerti apa yang dimaksud oleh Lamellong, kejadian ini merupakan pertanda bahwa Lamellong adalah orang yang cerdas dan cerdik merangkaikan kata-kata dan pada saat yang sama mereka berdua ke Istana Arung Pone” (Wawancara, 25 Agustus 2007).
Lamellong adalah seorang yang tidak diketahui asal usulnya sampai hari ini karena keberadaannya secara misterius, seperti ditegaskan oleh Cucu Arung Laliddong Petta Winru :”Lamellong adalah sosok yang sangat sakti karena memiliki sifat-sifat kejujuran, kepandaian (kecendekiaan), kepatutan, keteguhan, usaha/etos kerja dan siri’ (harga diri). Ia adalah kekasih Allah (Waliyullah, tau di amasei puang Allah Taala), karena nilai dasar ini dimiliki dan diamalkan Lamellong baik itu terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun kepada Tuhan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa menghilang, mampu berjalan cepat meskipun perjalanannya sangat jauh, peninggalan Lamellong adalah tongkatnya dari pohon ”nyelle” yang di tancapkan pada suatu saat setelah kembali dari tanah Bone (Istana Arung Pone) menuju Laliddong, Lamellong sempat beristirahat karena letih ia berjalan dari istana, setelah beristirahat sejenak memulihkan kondisi tubuhnya, maka dengan sangat refleks Lamellong menancapkan tongkat tersebut ke tanah sambil meninggalkan tempat itu berjalan menuju Kampubbu. Pohon yang telah ditancapkan tumbuh subur sampai saat ini , konon kabarnya menurut rakyat di Desa Kajaolaliddong bahwa pohon ”Nyelle” itu merupakan obat segala penyakit yang dipercaya turun temurun. Bahkan ada yang ingin menebangnya dengan memakai senso dan buldozer tapi sampai saat ini senso dan buldozer tersebut akan macet dengan sendirinya jika niat itu ingin dilaksanakan, Lamellong meninggalkan sesuatu yang sangat berharga dan bertuah, bahkan pohon tersebut dihuni oleh elang putih. Daerah Lamelllong di mulai dari Pajekko, Bakke, padang loang hingga Katumpi. Lamellong mengatakan daerah saya dihuni oleh ”Manu’ Pute Innong kinnong” yang berarti hati yang suci (hati nurani) dan biar sedikit asalkan tanah itu miliknya itulah prinsip Lamellong sebagai orang yang senantiasa memiliki 6 (enam) nilai dasar yakni Lempu, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’ (na bolai maneng ri watakkalena). Ini setiap hari diterapkan oleh Lamellong sebagai pabbicara na Mangkau’E” makanya kerajaan Bone memperluas kerajaannya berkat jasanya Lamellong.. (Wawancara, 26 Agustus 2007).
Disisi lain Sekretaris Lembaga Adat Kabupaten Bone Petta Ile mengemukakan : ”Sejak dulu sebelum Islam memang sudah termasuk modal utama bagi suku Bugis Makassar pada khususnya yang dikatakan sebagai pappaseng, pappaseng toriolo (pesan orang tua kita) mengandung sebuah makna, ada yang dikatakan pangaja sudah ada pappaseng, pappaseng sebelum terjadi memang sudah dipesan, sedangkan pappangaja nanti sudah ada kejadian baru di nasehati, jadi berbeda antara pesan dan nasehat. Orang tua kita dulu sebelum terjadi pada masyarakatnya memang sudah dipesankan. Manusia mempunyai adat (pangadereng) sehingga ia menggunakan karya, karsa, dan usahanya sehingga dapat meningkatkan budayanya. Seperti Raja Bone bertanya kepada penasehatnya ”Kajao Laliddong” yaitu ”tega allebbirenna rupa tauE?” , maka di jawab oleh Kajao Laliddong terhadap Arung Pone bahwa allebbirenna rupa tauE adalah panngadereng. Arung Pone bertanya lagi yang mana dikatakan panngadereng Kajao?, maka jawab Kajao hanya 4 (empat) pokok utamanya, tapi setelah agama Islam masuk di Kerajaan Bone menjadi lima yaitu tau missengenngi : Ada (Ade), Bicara (keputusan peradilan), Wari (batas keturunan), Rapang (Hukum-hukum yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang sangat baik) kemudian menjadi panngadereng. Dan setelah agama islam masuk di Kerajaan Bone (1611) yaitu Sara’ (syariat Islam). Disegi pemerintahan bahwa ”dena wedding mapparenta kodei na malampu” De to nulle mapparenta kode na macca, tidak akan berarti lempu’ dan acca apabila pemerintah tidak berani mengambil keputusan.
Jadi pemimpin itu harus berani mengambil resiko, jika tidak Lempu’ dan Accana tidak berarti apa-apa. Jadi harus jujur, magetteng pi (teguh dalam pendirian), ada tongeng (satu kata dengan perbuatan), sipakatau (saling menghormat). Yanaritu awarinengE nasibawai Siri’. Na mo Korupsi manyameng na sedding, pa degaga siri’na. Yang penting dijanji malahan dibohongi (karena tidak ada perasaan malu). Siri’ itu berada pada tiga tempatnya yaitu masiri’ ki ri aleta (diri sendiri), masiri’ ki ri padatta rupa tau (orang lain), masiriki’ na mitau tokki ri dewata seuae (Tuhan Yang Maha Esa).
Harus dipahami makna siri’, jika kita mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang tidak di tepati. Nilai-nilai panngadereng inilah yang harus dilestarikan adalah salah satu jalan yang terbaik. Kalau tidak digali karena nanti bernilai setelah kita amalkan. Yang jelasnya harus diterapkan pada kehidupan sehari-hari barulah nilai-nilai itu berharga.
Ungkapan ”Resopa temmanginngi namalomo naletei pammase dewata” atau ungkapan lain ” Passokku resomu usanre ri totomu utajenngi pammase”.
Toto’E sama dengan makkareso, iyaro resoe sanrei ko di pammase, makanya seluruh pekerjaan kita dipasrahkan kepa Tuhan Yang Maha Esa itulah sandaran kita. Jadi kunci panngadereng tidak akan berarti jika nilai Siri’ (Harga Diri) dan awaraningenna tau mapparentae (keberanian dari pemerintah) dan menjadi pelayan masyarakat (memperhatikan masyarakatnya) sehingga kelima aspek tersebut dapat ditegakkan, jadi begitu tingginya nilai budaya Bugis”.
Lamellong mendampingi Raja Bone ke-VI (1543-1568) ”La Uliyo Bote’E Matinroe ri Itterung” dan Raja Bone ke-VII (1568-1584) ”La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucina”. Nilai dasar yang digunakan pada masa itu diterima oleh Sara’ (syariat) pada waktu masuknya agama islam di tana-Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-XI ” La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng (1611-1612). Ajaran Islam sejalan dengan nilai dasar budaya Bugis yang diamalkan oleh Kajao Laliddong. Sebagaimana disampaikan oleh seorang cendekiawan, ulama, akademisi tana-Bone, Mujahid adalah sebagai berikut :” Dalam kaitannya dengannya persoalan agama, disiplin itu dapat dilihat dari nas-nas alqur’an maupun nas-nas hadits disamping secara kontekstual, di dalam pelaksanaan ibadah ritual itu ada pembelajaran yang dimulai dengan nas yang menyebutkan tentang disiplin itu, di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada 6 (enam) hal yang lebih baik dimiliki oleh manusia : yang pertama kedisiplinan terhadap para umara itu adalah pada persoalan keadilan, yang kedua disiplin bagi ulama itu adalah wara’ yang diartikan dengan kehati-hatian, disiplin bagi orang kaya itu kedermawanan (makacua), disiplin bagi orang-orang miskin itu adalah sabar,disiplin bagi pemuda (anak muda) adalah tobat, disiplin bagi wanita itu rasa malu, penekanan-penekanan kedisiplinan disegmen masyarakat sudah di patok seperti diatas. Disiplin itu berkaitan dengan ketepatan waktu, disiplin lebih luas artinya dari ketepatan waktu. Berkaitan dengan pengamalan suatu ibadah (kerja) tidak serampangan tapi harus disiplin.
Persoalan tepat waktu harus ada komitmen yang dilandasi dengan kesabaran, ada semacam keteguhan (konsistensi) dalam melaksanakan suatu tugas. Kemudian ketaatan kepada aturan baik secara norma budaya maupun norma agama, ketaatan kepada aturan cukup diperhatikan oleh agama misalnya salah diambil contoh adalah taat kepada hukum, Nabi pernah mengatakan seandainya Fatima putri Muhammad mencuri akan kupotong tangannya, beliau mensabdakan ini karena adanya sekelompok masyarakat Mekkah menghadap kepada Nabi untuk meminta semacam pengampunan terhadap seorang wanita, yang konon wanita itu adalah tokoh di masyarakat itu tapi dia mencuri, sekalipun dia mencuri maka harus dipotong tangannya, begitu ketaatan pada aturan. Inilah merupakan penekanan dari Nabi bahwa rusaknya umat terdahulu karena ketika orang-orang kuatnya mencuri dibiarkan saja, ketika orang-orang lemahnya mencuri itu dikenakan sanksi (aturan itu di jalankan). Kemudian tanggung jawab seseorang menurut agama yaitu tanggung jawab secara vertikal, tanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab secara sosial. Keterkaitan tanggung jawab dengan lingkungan sangat mempengaruhi seseorang dengan masyarakat disekitarnya”. (Wawancara, Tanggal 27 Agustus 2007).
Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA Dengan datangnya LA UBBI yang digelar TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) atau MATA SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG , sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone berbunyi sebagai berikut;
“ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE. MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING“ Terjemahan bebas ; “ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT KEMAUAN DAN KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM, ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN “
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng (Norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya.
SIPAKATAU artinya : Saling memanusiakan , menghormati/menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku.
SIPAKALEBBI artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
SIPAKAINGE artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan.
Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka system pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis dimana MenurungE sebagai Ketuanya Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI BETTUNG pada akhir abad ke XVI.
Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone ke X LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Pada masa itu pula sebuatan Matoa Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MaTOA MENGALAMI PULA PERUBAHAN MENJADI Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI KABUPATEN BONE dan diperingati setiap tahun.
Komentar
Posting Komentar