Wujud Kearifan Lokal dalam Keterampilan Proses Sains

 Abstrak: Keterampilan proses sains fisika yang diterapkan selama ini oleh pendidik pada satuan pendidikan, hanya menggunakan teori keterampilan proses sains dari barat, tanpa mempertimbangkan apa yang terdapat dilingkungan peserta didik atau kebudayaan lokal pada peserta didik. Wujud kearifaan lokal yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat terdiri atas 3 (tiga), yaitu: (1) dalam bentuk ungkapan (ada’); (2) dalam bentuk perbuatan (gau); dan (3) dalam bentuk tulisan atau buatan manusia (reso). Ketiga wujud kearifan lokal ini, dimiliki oleh masing-masing etnis yang ada di Sulawesi Selatan dan Barat dan dapat diintegrasikan ke dalam keterampilan proses sains peserta didik, baik sebagai dasar pemikiran, prinsip, ataupun objek atau bahan pembelajaran.

Kata kunci: kearifan lokal, keterampilan proses sains.
Abstract:Physical science process skills are applied so far by educators in the educational unit, only use the theory of western science process skills, regardless of what is contained in the local culture learners or learners. Form of local wisdom in the communities of South Sulawesi and West consists of 3 (three), namely: (1) in the form of expression (ada’); (2) in the form of deeds (gau); and (3) in the form of writing or man-made (reso). The third form of local wisdom, owned by the respective ethnic groups in South Sulawesi and West and can be integrated into science process skills of learners, both as a rationale, principles, or object or learning materials.
Keywords: local knowledge, science process skills.

PENDAHULUAN
Perubahan dan perkembangan di berbagai aspek kehidupan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu direspon oleh kinerja pendidikan yang profesional dan bermutu tinggi. Mutu pendidikan yang demikian itu sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang cerdas dan berkehidupan yang damai, terbuka, dan berdemokrasi, serta mampu bersaing secara terbuka di era globalisasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
     Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari bangsa di dunia ini harus mampu bersaing dalam persaingan bebas yang disebabkan adanya era globalisasi saat ini. Untuk itu perlu dibangun manusia Indonesia yang berkualitas melalui pendidikan formal dan pendidikan informal. Upaya yang tepat untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Satu-satunya wadah yang dapat dipandang dan seyogyanya berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang bermutu tinggi adalah pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut pemerintah telah menyelenggarakan perbaikan-perbaikan peningkatan mutu pendidikan untuk berbagai mata pelajaran, diantaranya mata pelajaran Fisika.
Fisika sebagai suatu disiplin ilmu yang hakikatnya merupakan pengetahuan yang berdasarkan fakta, hasil pemikiran para ahli dan hasil-hasil eksperimen yang dilakukan para ahli. Selanjutnya perkembangan fisika ditunjukkan oleh produk ilmiah berupa fakta, teori, konsep dan generalisasi. Seiring dengan itu berkembang juga metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Fiska merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari di SMA/MAN yang termuat dalam kurikulum. Adapun kurikulum yang digunakan sekarang adalah Kurikum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kunanadar (2007) KTSP menekankan pada prinsip belajar sepanjang hayat (learning for life) yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu : (1) belajar mengetahui (learning to know), (2) belajar melakukan (learning to do) (3) belajar menjadi diri sendiri (learning to be oneself) dan (4) belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together). Prinsip utama dalam proses pembelajaran adalah adanya proses keterlibatan seluruh atau sebagian besar potensi dari diri peserta didik dan kebermaknaan bagi diri dan kehidupannya saat ini dan dimasa yang akan datang.
Fisika dalam proses pembelajarannya lebih diarahkan pada pengembangan kemampuan intelektual serta penanaman sikap atau karakter yang lebih baik. Hal ini ditujukan pada peserta didik sebagai bekal untuk pendidikan selanjutnya. Pembelajaran fisika yang berada di satuan pendidikan merupakan pembelajaran yang dapat menumbuh kembangkan karakter peserta didik dan pembelajaran fisika dapat mengasah keterampilan-keterampilan proses sains peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keterampilan proses sains fisika yang diterapkan selama ini oleh pendidik pada satuan pendidikan, hanya menggunakan teori keterampilan proses sains dari barat, tanpa mempertimbangkan apa yang terdapat dilingkungan peserta didik atau kebudayaan lokal pada peserta didik, sehingga hasil belajar yang diperoleh hanya semata kemampuan intelektual peserta didik. Apabila hal ini terus berjalan, maka peserta didik dapat saja tidak peduli lagi apa yang terdapat pada lingkungan sekitarnya, terutama kebuyaan yang terdapat pada daerahnya sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya solusi agar peserta didik tidak hanya belajar fisika untuk meningkatkan keterampilan proses sainsnya, tetapi juga bagaimana membuat peserta didik belajar dengan menerapkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga keterampilan proses sains peserta didik meningkat, pengetahuan kearifan lokal peserta didik jg meningkat.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah wujud kearifan lokal dalam keterampilan proses sains dalam pembelajaran fisika?
2.      Wujud kearifan lokal seperti apa yang dapat diintegrasikan ke dalam keterampilan proses sain fisika peserta didik?
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui bagaimanakah wujud kearifan lokal dalam keterampilan proses sains dalam pembelajaran fisika.
2.      Untuk mengetahui wujud kearifan lokal seperti apa yang dapat diintegrasikan ke dalam keterampilan proses sain fisika peserta didik.
PEMBAHASAN
A.    Wujud Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:
1.      mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.      memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3.      mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4.      mempunyai kemampuan mengendalikan,
5.      mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya yang dimiliki masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, walapun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi juga mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban dan persoalan.
Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilainilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.
Berdasarkan pengertian mengenai kearifan lokal di atas, terlihat bahwa kearifan lokal bermakna: norma, gagasan konseptual, nilai-nilai, pengetahuan, pandangan hidup, cara-cara individu dan masyarakat atau komunitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di dalam lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang dimaksudkan adalah ruang interaksi sekelompok orang di mana mereka hidup bersama, bekerja bersama, atau bergaul bersama. Stanis, dkk. (2007: 70) mengemukakan bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari etika dan moralitas yang dapat membantu manusia untuk menjawab pertanyaan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, serta erat kaitannya dengan karakter-karakter apa yang semestinya harus dilakukan dalam menjawab atau memecahkan masalah tersebut.
Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh sekelompok orang di dalam lingkungannya adalah potensi untuk ditingkatkan dalam proses pembelajaran di sekolah, yang nantinya dapat mengalami peningkatan menjadi nilai-nilai karakter. Hal ini cukup beralasan, karena kearifan lokal adalah salah satu sumber nilai-nilai karakter, sebagaimana yang dikemukakan pada bagian sebelumnya. Sehubungan dengan itu, Wagiran (2012: 33) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah bagian dari budaya yang menjadi modal dasar dalam peningkatan karakter, khusunya bagi peserta didik.
Wujud kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat pada suatu daerah atau komunitas terdiri atas 3 (tiga), yakni sebagai berikut.
1.      Wujud perkataan/ungkapan
Yuga (2010) telah mengemukakan wujud kearifan lokal dalam bentuk ungkapan dari berbagai etnis di Indonesia, salah satu diantaranya adalah ungkapan pada etnis atau suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan, yaitu: (1) etnis Makassar yang menyatakan a’bulo sibatang paki antu mareso tamattapu nanampa nia sannang ni pusakai (Bambu sebatang semua kita bekerja tak putus-putus kemudian senang dimiliki), yang bermakna “bekerja dengan jujur dan bersatu akan menghasilkan pekerjaan yang tak henti-hentinya memberi kesenangan dan keberuntungan”; (2) etnis Bugis yang menyatakan rebba sipatokkong, mali siparappe, siruik mengre’ tessiruik nok, malilu sipakaingek, maingekpi napaja (rebah saling menegakkan, hanyut saling menyelamatkan, tarik menarik ke atas bukan menarik ke bawah, khilaf saling mengingatkan sampai sadar) yang bermakna “kearifan untuk menjaga nilai solidaritas dalam kehidupan masyarakat”; (3) etnis Mandar yang menyatakan matindoi ada naula landur to situru (adat sebagai jalur pemersatu); dan (4) etnis Toraja yang menyatakan baliqbiqna dikatakuq ingkokna dikalallang (ekornya ditakuti, ujungnya/kepalanya dikhawatirkan), yang bermakna nilai pembinaan moral atau etika dari suatu kelompok masyarakat kepada perseorangan tentang baik buruk.
2.      Wujud tindakan/perbuatan
Naing, dkk. (2009) mengungkapkan mengenai wujud kearifan lokal dalam bentuk tindakan (perbuatan atau perilaku) masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sistem bermukim mengapung yang terdapat di danau Tempe Kab. Wajo yang berimplikasi terhadap kreativitas masyarakat dalam membangun hunian yang nyaman dan fungsional, serta adaptif terhadap iklim yang cenderung ekstrim di atas air. Sedangkan Rais (2010) mengungkapkan tentang pelaksanaan acara perkawinan masyarakat Kokoda-Papua yang memperlihatkan terjadinya inklusifitas praktik keagamaan.
3.      Wujud tulisan, dan benda buatan manusia.
Istanti (2007) mengungkapkan wujud kearifan lokal dalam bentuk tulisan, yaitu mengenai teks Amir Hamzah dalam wujud kearifan lokal teks: Amir Hamzah Melayu, Amir Hamzah Jawa, Amir Hamzah Sunda, dan Amir Hamzah Bugis-Makassar. Mahmud (2010) mengungkapkan wujud kearifan lokal dalam bentuk buatan manusia yaitu mengenai adanya seni tradisional yang menggunakan alat/media warisan, seperti: sinrilik, pakkacaping, ma’badong, elong pelong, tudang sipulung, mappadendang, pappaseng, wayang purwa, wayang golek, ludruk, ketoprak atau bentuk media warisan lainnya yang masih dapat ditemukan di Indonesia.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, salah satu kearifan lokal adalah ungkapan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang bermakna fungsi pendidik sebagai teladan, dinamisator, dan motivator (Suryadi, 2009: 57). Ungkapan ini sejalan dengan ungkapan yang ada pada etnis Bugis mengatakan “Rioloi Napatiroang, Ritengngai Naparaga-raga, Rimonrii Napaampiri” yang dapat diartikan: ia menjadi teladan jika berada di depan kita, ia akan menjadi dinamisator jika berada ditengah bersama kita, ia menjadi motivator jika ia berada di belakang kita.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa wujud kearifan lokal tersebut dapat diintegrasikan ke dalam komponen keterampilan proses sains fisika peserta didik pada suatu satuan pendidikan sesuai wujud kearifan lokal yang terdapat pada suatu wilayah.
B.     Keterampilan Proses Sains Fisika
   Pengertian keterampilan proses sains adalah keterampilan yang dipelajari peserta didik pada saat mereka terlibat aktif dalam penyelidikan ilmiah melalui mengajukan dan menjawab suatu pertanyaan, dan mereka menggunakan berbagai macam keterampilan proses, bukan hanya satu metode ilmiah tunggal. Nur dan Samani (1998) mengklasifikasikan keterampilan proses sains menjadi keterampilan proses dasar dan keterampilan proses terpadu. Keterampilan proses dasar merupakan fondasi untuk melatihkan proses terpadu yang lebih kompleks. Keterampilan-keterampilan proses sains dasar tersebut adalah: pengklasifikasian (Classifying), pengamatan (Observing), pengukuran (Measuring), peramalan dan penginferensian (Infering and predicting), pengkomunikasian (Communicating), dan melakukan eksperimen (Experimenting). Menurut Gega (1994) untuk mudah diingat diakronim menjadi COMIC-E. Salah satu komponen keterampilan proses sains dalam pembelajaran fisika yang memuat dimensi kearifan lokal adalah observasi.
Observasi atau pengamatan adalah keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui menggunakan indera. Kita menggunakan semua indera untuk melihat, mendengar, mengecap, meraba, dan mencium. Agar peserta didik terampil dalam mengamati benda-benda dan kenyataan yang ada di sekitarnya, maka guru perlu untuk melatihkan keterampilan mengobservasi atau pengamatan dalam kegiatan belajar-mengajar.
Beberapa perilaku yang dikerjakan peserta didik pada saat pengamatan menurut Nur (2002) adalah: (1) penggunaan indera-indera tidak hanya penglihatan; pengorganisasian objek-objek menurut satu sifat tertentu; (2) pengidentifikasian banyak sifat; (3) pengidentifikasian perubahan-perubahan dalam suatu objek; (4) melakukan pengamatan kuantitatif; (5) melakukan pengamatan kualitatif.
Wujud kearifan lokal dalam bentuk ungkapan yang terdapat pada pengamatan sebagai komponen keterampilan proses sains fisika adalah adanya ungkapan Tau Riolo yang menyatakan bahwa, sininna gau’e mattarette’pi namadeceng (semua perbuatan akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan perilaku yang tertib) disertaidengan 4 (empat) pesan, yaitu: (1) issengngi maja’e penessaiwi madecengnge (ketahui yang buruk, dan teliti yang baik); (2) issengngi tencajie penessaiwi jajie (ketahui yang tidak jadi, dan teliti yang jadi); (3) issengngi tekkuwae penessaiwi kuwae (ketahui yang tidak benar, dan teliti yang benar); dan (4) issengngi majekkoe penessaiwi malempu’e (ketahui yang bengkok, dan teliti yang lurus)(Martawijaya, 2014). Dalam konteks pengamatan pada pembelajaran fisika, ungkapan ini bermakna bahwa hal-hal yang perlu untuk diamati adalah hal-hal yang baik, sedangkan hal-hal yang tidak baik tidak perlu lagi diamati karena sudah jelas dikatakan tidak baik. Tetapi yang dikatakan baik perlu diamati, apakah hal tersebut memang baik atau tidak.
Selain itu, juga adanya ungkapan Tau Riolo yang menyatakan bahwa, olakku kuakkolaki, de’ kupewawawi taue ritengngelo’na, de’to kupatiwiriwi tennaulle, de’to kupakkatenningngi dua dodosong, de’to kupakkatenning dua alu (takaranku yang kupergunakan untuk menakar, aku tidak membebani rakyat yang tidak diinginkan, juga aku tidak membebaninya yang tidak disanggupi, juga aku tidak menugasinya dua urusan, juga aku tidak menugasinya dua alat). Ungkapan ini mengandung makna bahwa jika seseorang hendak melakukan sesuatu hendaknya ia melihat kepantasannya. Demikian pula jika seseorang memberikan tugas atau amanah kepada orang lain hendaknya ia melihat kepantasan orang tersebut. Selain itu, ia tidak memberikan tugas atau amanah lebih dari satu pada waktu yang bersamaan (Martawijaya, 2014). Dalam konteks pengamatan pada pembelajaran fisika, ungkapan ini bermakna bahwa seseorang harus mampu mengamati terlebih dahulu apakah dirinya mampu untuk mengamati suatu objek sebelum ia menugaskan kepada orang lain untuk mengamatinya.
Wujud kearifan lokal dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang terdapat pada pengamatan sebagai komponen keterampilan proses sains fisika adalah adanya pengamatan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat. Pengamatan yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat dapat diartikan dalam bahasa Bugis sebagai mappenessa (memperjelas). Ungkapan Tau Riolo yang menyatakan bahwa mappenessa yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat dibantu oleh orang lain yang turut menjadi saksi terhadap apa yang diamati. Kehadiran saksi inilah yang menjadi dasar kebenaran atas apa yang diamati oleh pengamat, dalam bahasa Bugis dikenal sebagai mappesabbi (saling mempersaksikan) (Martawijaya, 2014). Dalam konteks pengamatan pada pembelajaran fisika dapat dimaknai bahwa pengamatan yang dilakukan oleh peserta didik sebagai salah satu komponen keterampilan proses sains, hendaknya mempersaksikan kepada peserta didik lain mengenai hasil pengamatan yang telah dilakukannya.
Mappesabbi dapat dimaknai sebagai proses pembenaran oleh sejumlah peserta didik lain terhadap apa yang peserta didik amati dalam kegiatan pembelajaran fisika, sedangkan untuk memperoleh pembenaran dari diri sebagai seorang pengamat terhadap suatu objek yang diamati, Tau Riolo (Martawijaya, 2014) mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) prinsip yang harus dipegang teguh oleh masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat dalam melakukan suatu pekerjaan termasuk dalam hal pengamatan, yaitu: (1) manisi-nisi; dalam keterampilan proses sain fisika dapat dimaknai sebagai proses mengamati suatu objek dengan sangat teliti dan sangat rinci; (2) matike; dalam keterampilan proses sain fisika dapat dimaknai sebagai proses mengamati dengan hati-hati, pelan-pelan hingga selesai; (3) malempu’; dalam keterampilan proses sain fisika dapat dimaknai sebagai proses mengamati dengan jujur dan melaporkan hasil pengamatan sesuai dengan adanya objek yang diamati; dan (4) masabbar; dalam keterampilan proses sain fisika dapat dimaknai sebagai proses mengamati dengan sabar hingga memperoleh hasil pengamatan yang diharapkan.
Sedangkan wujud kearifan lokal dalam bentuk tulisan atau benda buatan manusia yang terdapat pada pengamatan sebagai komponen keterampilan proses sains fisika adalah adanya sejumlah peninggalan masa lampau yang dapat menjadi objek pengamatan oleh peserta didik dalam pembelajaran fisika. Objek yang dimaksudkan, yaitu: (1) Perahu Sandek (kebudayaan etnis Mandar) dapat dijadikan sebagai objek pengamatan oleh peserta didik untuk menemukan konsep fisika yang terdapat pada perahu tersebut; (2)  Permainan Daga-daga(kebudayaan etnis Makassar) dapat dijadikan sebagai objek pengamatan oleh peserta didik untuk menemukan konsep fisika yang terdapat pada permainan tersebut; (3) Pembuatan Tongkonan (kebudayaan etnis Toraja) dapat dijadikan sebagai objek pengamatan oleh peserta didik untuk menemukan konsep fisika yang terdapat pada proses pembuatan tongkonan tersebut; dan (4) kebudayaan lainnya dari berbagai etnis di Sulawesi Selatan dan Barat yang dapat dijadikan objek pengamatan dalam pembelajaran fisika oleh peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diyakini bahwa wujud karifan lokal sangat memungkinkan untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran fisika, khusus untuk meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengamati sebagai salah satu komponen keterampilan proses sains fisika. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang keterampilan proses sains di salah satu SMP Negeri di Sulawesi Selatan menunjukkan adanya rata-rata persentase keterampilan proses sains fisika peserta didik berada pada kategori sangat baik. Rata-rata persentase keterampilan proses sains fisika yang dimaksudkan ditunjukkan pada Tabel berikut.
             Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Pengamatan KPS Peserta didik
No
KPS Yang dilatihkan
Rata-rata Persentase
Kategori
1
Merumuskan Pertanyaan
83.73
SB
2
Merumuskan Hipotesis
84.61
SB
3
Melakukan percobaan
92.25
SB
4
Menganalisis Data
85.98
SB
5
Mengkomunikasikan
88.43
SB
6
Menarik Kesimpulan
90.88
SB
Hasil Rekapitulasi Keterampilan Proses sains seperti pada Gambar berikut
www.pendidikanmahir.com 
           Gambar 1. Diagram Hasil Analisis KPS Peserta Didik
SIMPULAN
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan pada makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud kearifan lokal diyakini dapat diintegrasikan ke dalam pelaksanaan pembelajaran keterampilan proses sains fisika untuk meningkatkan pengetahuan mengenai kearifan lokal peserta didik selain keterampilan peserta didik. Wujud kearifaan lokal yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat terdiri atas 3 (tiga), yaitu: (1) dalam bentuk ungkapan (ada’); (2) dalam bentuk perbuatan (gau); dan (3) dalam bentuk tulisan atau buatan manusia (reso). Ketiga wujud kearifan lokal ini, dimiliki oleh masing-masing etnis yang ada di Sulawesi Selatan dan Barat dan diyakini dapat diintegrasikan ke dalam keterampilan proses sains peserta didik, baik sebagai dasar pemikiran, prinsip, ataupun objek atau bahan pembelajaran.
SARAN
Saran yang dapat penulis uraikan adalah kepada seluruh pendidik, dan calon pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pembelajaran, khususnya pembelajaran fisika, hendaknya mempertimbangkan wujud kearifan lokal yang dimiliki oleh peserta didik atau masyarakat pada daerah tersebut. Selain itu, masih banyak komponen keterampilan proses sains yang dapat dikembangkan berdasarkan wujud kearifan lokal suatu daerah, sehingga penulis menyarankan kepada pembaca bagi yang hendak merencakan dan melaksanakan pembelajaran sebaiknya mengintegrasikan kearifan lokalnya, khususnya dalam keterampilan proses sains. Seperti pepatah yang menyatakan “kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi”.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Gega, P. C. 1994. How to Teach Elementary School Science. Singapore: Macmillan Publishing Company.
Kunanadar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers
Mahmud, M. 2010. Media Warisan dan Kearifan Lokal. Jurnal t.n., Volume 13, Nomor 2 Juli – September 2010.
Martawijaya, M.Agus. 2014. Model Pembelajaran Fisika Berbasis Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Karakter dan Ketuntasan Belajar Peserta Didik SMP di Pulau Barrang Lompo. Disertasi tidak diterbitkan. Makassar: PPs Universitas Negeri Makassar.
Naing, N., dkk. 2009.  Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan pada Pemukiman di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jurnal Wisdom. Volume 1, Nomor 1, November 2009, hlm. 19 – 26, diakses pada tanggal 26-8-2011.
Nur, M. dan Samani, M. 1998. Teori Pembelajaran IPA dan Hakekat Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Depdikbud. 
M. 2002. “Contoh kisi-kisi Tes dan Butir Asesmen Tradisional Proses.” Makalah yang disampaikan pada pelatihan pembelajaran yang berkaitan dengan kurikulum Berbasis Kompetensi kepada para Guru MIPA SMU Negeri Kabupaten Sidoardjo pada tanggal 13-14 Maret 2002. Surabaya: UNESA.
Rais, M. 2010. Islam dan Kearifan Lokal. Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10.
Stanis, dkk. 2007. “Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Pasir Laut. Vol.69 2, No.2, Januari 2007, hlm. 67-82.
Suryadi, A. 2009. “Ajaran Ki Hajar Dewantara: Buitiran Mutiara yang Hilang”. Jurnal Medik. Nomor 1, Januari-April 2009, hlm. 56-57.
Wagiran. 2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya). Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun II, Oktober 2012, hlm. 329-339.
Yuga, S. 2010. Bunga Rampai Nilai-Nilai Etika dalam Ungkapan Budaya. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Pola Perkembangan Pemikiran Manusia di Dunia

Sejarah Berdirinya Kabupaten Bone