4 Pola Perkembangan Pemikiran Manusia di Dunia
1. Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
2. Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh- tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual. Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar.
Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya.
Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri. Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan “nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri.
Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktor- faktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukum- hukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari pandangan ini adalah Skinner.
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.
3. Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya. Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya. Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol Pada bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia.
4. Manusia menurut pola pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang non- religiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Menurut Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya.
Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat. Ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.
Komentar
Posting Komentar